Sabtu, 26 Februari 2011

UN 2011 : Rekomendasi Pendidikan Pada Korban Bencana

Bangsa Indonesia setiap tahun seperti selalu mengeluarkan “seri bencana” terbaru. Untuk tahun 2010 lalu saja sudah muncul serial bencana-bencana terbaru. Bencana banjir di Wasior, Papua, kemudian tsunami di Mentawai, Sumatera Barat, dan semburan “wedhus gembel” di Merapi, Kabupaten Sleman DI. Yogyakarta. Dari kejadian bencana yang terjadi di sepanjang tahun 2010 lalu, banyak catatan-catan unik yang layak kita renungkan, dan kita cari solusinya
Saat terjadi bencana banjir di Wasior Papua, banyak orang menyebutnya adalah sebuah bencana tsunami kecil, bagaimana tidak, luapan air yang di sertai lumpur banyak memakan korban dan menghanyutkan perkampungan di sudut teluk tersebut, lebih dari 150 korban meninggal dunia, dan ratusan rumah hancur terseret banjir, tak terkecuali bangunan sekolah yang luluh lantak karenanya. Gempa dan tsunami di Mentawai, Sumatera Barat, dari pihak BMKG yang sudah membuat realease, bahwa setelah terjadi gempa berkekuatan 7,2 skala richter itu, ancaman tsunami sudah lewat. Ternyata di Mentawai benar-benar terjadi tsunami, 100 orang lebih di temukan tewas, dan lebih dari 500 orang lainnya belum di temukan keberadaannya, bangunan-bangunan hancur tersapu oleh derasnya air bah akibat air laut yang meluap, gereja, masjid, banguan rumah warga, dan sekolahpun menjadi korban saksi sejarah keganasannya. Belum lama berselang, solusi dan bala bantuan yang belum terakomodasi dengan baik di dua lokasi bencana tersebut, Gunung merapi juga ikut meramaikan “event” bencana yang terjadi di Indonesia. Keganasan “wedhus gembel” yang di katakan bahwa, hawa-material panas itu mencapai suhu minimal 600 derajat celcius, sebagai perbandingan, titik leleh baja 1000 derajat celcius, dan titik leleh aluminium sekitar 500 derajat celcius, aluminum yang bisa leleh dengan suhu 500 derajat, bagaimana dengan tubuh manusia yang hanya terbungkus kulit dan gumpalan daging yang menutupinya, dapat diimajinasikan bagaimana akibatnya jika awan panas itu menyentuh kulit manusia, kemurkaan merapi seakan-akan meminta tumbal, padahal selama ini Merapi dikenal “ramah”. Tak beda dengan bencana Wasior dan Mentawai, ratusan korban meninggal dan bangunan luluh lantak seakan memberikan isyarat Merapi tak lagi ramah dan bersahabat.
Ketiga bencana besar yang terjadi akhir-akhir ini, seakan menjadikan pelajaran buat negeri ini, dan memberikan bahan renungan kepada kita semua, sebenarnya apa yang “salah” dengan bumi pertiwi. Padahal, pada tahun 2009 lalu, pemerintahan di bawah Pak SBY mengklaim bahwa banyak kesuksesan yang di capai di berbagai sektor, pertanian, perekonomian, bahkan pendidikan. Jika sudah begini, apakah pemerintah masih sanggup berbicara bahwa kesuksesannya masih di rasakan sampai sekarang? , barangkali tidak. Kita kerucutkan saja di sektor pendidikan, dari ketiga bencana yang terjadi, banyak bangunan-bangunan sekolah dan fasilitas belajar-mengajar hancur di buatnya, dampaknya, para siswa yang seharusnya belajar pada jam 07.00 pagi, kini mereka hanya bisa meratapi keadaan sekolahnya hancur, akhirnya proses belajar-mengajarpun terbengkalai, dan para siswa yang seharusnya target belajar sudah sampai Z, mereka hanya bisa menikmati sampai S dulu, mungkin pemerintah bisa berdalih “ini hanya sementara saja, kami akan bertindak secepatnya untuk mengatasi masalah ini”, akan tetapi hal ini tidak bisa di biarkan berlarut-larut, apalagi dengan proses pemulihan yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar, juga membutuhkan biaya yang relatif besar.
Ujian Nasional (UN) yang selama ini menjadi tolak ukur keberhasilan yang menjadi penilaian kompetenasi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah, masih menjadi momok dan di anggap masalah serius yang mesti menjadi fokus. Standar minimum kompetenasi kelulusan yang terus meningkat di tiap periode, juga menjadi perhatian pihak sekolah, dan para guru-guru pengajar mata pelajaran. Melihat kondisi seperti ini, mungkin bagi pemerintah biasa-biasa saja, dan bisa terselesaikan, benar jika semua sekolah memiliki kualitas sumber daya manusia pengajar yang di atas rata-rata dan merata, fasilitas proses belajar-mengajar yang memadai. Akan tetapi pada realisasinya, pemrataan yang tidak seimbang di tiap wilayah dan sekolah di penjuru Nusantara pun menjadi problem tersendiri, ini yang seharusnya menjadi telaah untuk di kaji ulang kebijakan yang telah di buat oleh pemerintah.
Sekarang, Ujian Nasional (UN) sudah di depan mata, kurang sekitar dua bulan lagi, para siswa yang duduk di bangku sekolah dasar sampai menengah sedang bersiap-siap untuk menduduki “kursi panas”, bagaimana dengan mereka para siswa didik yang terbengkalai proses belajar-mengajarnya yang di akibatkan oleh bencana yang melanda? Apakah dengan keputusan pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan harus tetap tutup mata dan telinga melihat realita seperti ini, dengan menetapkan kebijakan dengan memberikan standar kompetensi yang sama? Jawabannya, tidak semestinya pemerintah melakukan hal itu, mengapa demikian, pemrataan kualitas SDM dan sarana-pra sarana saja belum terselesaikan, apa mungkin tega pemerintah membiarkan realita seperti ini.
Tempo hari yang lalu, forum kecil yang diadakan di Cafetarium di pinggiran Kota pelajar Yogyakarta, rekan-rekan dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’ Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman yang juga di hadiri oleh perwakilan rekan IPNU dari Balikpapan membicarakan realita yang terjadi, keputusan pemerintah akan Ujian Nasional di anggap tidak relevan dan berimbang ketika di hadapkan dengan situasi yang beraneka ragam bencana melanda di Negeri ini, salah satu rekan mengatakan “seharusnya pemerintah memberikan kebijakan lain soal ini, karena bagaimanapun juga ini tidaklah adil”. Memang, seharusnya melihat keadaan seperti sekarang, pemerintah harus lebih intens dan serius untuk mengkaji ulang sistem UN dan standar kompetensi yang di tetapkan, dari segi asupan porsi keilmuan yang di terima para siswa korban bancanapun mandeg saat bangunan sekolah dan fasilitas belajar-mengajar rusak, belum lagi masalah buku pelajaran yang di miliki siswa hilang, seragam sekolah tak punya, dan alat tulis menulis menjadi minim karena bencana, tentu saja hal ini menjadi masalah serius yang harus kita cari dan temukan solusinya. Pada akhirnya, forum itu memutuskan untuk merekomendasikan kepada pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan yang isinya di antara lain :
1. membuat kebijakan baru terkait dengan Ujian Nasional dan Standar Kompetensi minimum yang relevan akan realita yang terjadi
2. segera menindak lanjuti dan menyelesaikan perhatian pemerintah terkait dengan bangunan sekolah yang rusak dan sarana prasarana serta fasilitas sekolah yang hilang

Semoga hal ini menginspirasi kita semua untuk turut ikut andil dalam menyelesaikan masalah pemerintah, tidak hanya bisa merekomendasikan kepada pemerintah untuk menyelesaikannya, bagaimanapun juga kita sebagai warga negara juga berkewajiban untuk membantu meringankan beban Bumi Pertiwi. Apa yang bisa kita lakukan ? mari kita lakukan bersama. (Wallahu A’lam)

Selasa, 22 Februari 2011

SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMA’ (IPNU)

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’, di singkat IPNU, adalah salah satu badan otonom yang didirikan oleh NU pada tanggal 20 Jumadil Akhir 1373 H / 24 Februari 1954 di Semarang.
            Sebelum IPNU terbentuk, para pelajar NU sudah mendirikan organisasi di daerah masing-masing, yang antara satu dengan yang lainnya tidak saling berkaitan. Ada Persatuan Siswa NO (Persano) – djaman doeloe – di Surabaya tahun 1939, Iktan Murid NO di Malang tahun 1945, Subbanul Wathon di Madura tahun 1045, dan lain sebagainya. IPNU didirikan ketika terselenggaranya Kongres LP Ma’arif di Semarang, dimana basis gerak IPNU adalah di kalangan pelajar, remaja dan santri. Sejak berdirinya IPNU menjadi salah satu bagian LP Ma’arif dan baru pada tahun 1966, ketika di selenggarakan Kongres IPNU di Surabaya, IPNU resmi melepaskan diri dari LP Ma’arif dan menjadi badan otonom NU. Salah seorang pemrakarsa berdirinya Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’ (IPNU) adalah Prof. Dr. KH M. Tolchah Mansur yang lebih di kenal sebutannya dengan nama “Rekan Tolchah”.
            Sejak berdirinya IPNU merupakan kependekan dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’, dalam perkembangannya, nama IPNU dengan kependekan itu, sejak tahun 1988, melalui kongresnya yang ke-10 di Jombang – di kenal dengan deklarasi Jombang – kepanjangannya di ganti menjadi Ikatan Putera Nahdlatul Ulama’, karena harus menyesuaikan diri dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang keorganisasi masyarakatan (Ormas), yang melarang adanya organisasi pelajar di sekolah, selain Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Namun setelah Orde Baru tumbang, di saat kebebasan berpendapat dan berekspresi bisa di peroleh dengan mudah, singkatan itu di kembalikan lagi seperti saat kelahirannya. Melalui kongresnya yang ke-14 di Surabaya pada tanggal 18-22 Juni 2003, kepanjangan IPNU kembali seperti semula : Ikatan Pelajar Nahdlatul ‘Ulama.

            Makna lambang :
1.      Warna hijau  melambangkan subur, kuning melambangkan hikmah yang tinggi dan putih bermakna kesucian. Warna kuning di antara putih melambangkan hikmah dan cita-cita yang tinggi
2.      Bentuk bulat bermakna kontinyu, Istiqomah, dan terus menerus
3.      Tiga titik di antara di antara kata I.P.N.U , bermakna Islam, Iman, Ihsan
4.      Enam strip pengapit huruf I.P.N.U bermakna rukun iman
5.      Bintang berarti ketinggian cita-cita
6.      Sembilan bintang : lambang keluarga Nahdlatul ‘Ulama.
a.       Satu bintang paling besar di tengah : Nabi Muhammad SAW
b.      Empat bintang di kanan dan kiri : Khulafaur Rosyidin, yakni Abu Bakar As-Shiddiq ra, Umar bin Khottob ra, Utsman Bin Affan ra, dan Ali bin Abi Tholib ra
c.       Empat bintang di bawah : madzhab empat, yaitu Imam Hanbali, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Syafi’i
7.      Dua kitab : Al-Qur’an dan Al-Hadits
8.      Bulu lambang ilmu. Dua bulu angsa bersilang melambangkan sintesa antara ilmu umum dan ilmu agama Islam
9.      Sudut bintang lima bermakna rukun Islam

            Para Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) IPNU dari masa ke masa :
1.      M Tolchah Mansoer                             (1954-1959)
2.      Ismail Makky                                       (1961-1963)
3.      Asnawi Latif                                         (1963-1970)
4.      Tosari Wijaya                                       (1976-1981)
5.      Ahsin Zaidy                                          (1981-1988)
6.      Zainut Tauhid                                       (1988-1996)
7.      Hilmy Muhammadiyyah                        (1996-2000)
8.      Abdullah Azwar Annas                         (2000-2003)
9.      Mujtahidur Ridho                                 (2003-2006)
10.  Idy Muzayyad                                      (2006-2009)
11.  Ahmad Syauki                                     (2009-sekarang)

REINTERPRETASI SISTEM KADERISASI DI TINGKATAN PELAJAR


            Segala bentuk pemahaman tentang organisasi, terutama dalam tubuh pergerakan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’ (IPNU), di harapkan mampu menjadi mediator dan sarana keluh kesah permasalahan yang ada di tingkatan pelajar, tak hanya itu, IPNU sebagai organisasi kader harus bisa mengakomodasi dan memberikan sumbangsih lebih terhadap apa yang menjadi kebutuhan pelajar, baik dari sisi akademik keilmuan umum, maupun sisi keagamaan dalam membentuk watak dan akhlak. Ini harus menjadi perhatian khusus sekaligus PR besar bagi IPNU. Selama dekade terakhir, yang terjadi di IPNU, hanya perhatian soal keorganisasian dan pembentukan pola pikir kepemimpinan, ini terbukti dengan adanya sistem pelatihan tentang kader dasar atau yang sering di sebut Latihan Kader Dasar (LKD) yang di selenggarakan di sekolah-sekolah umum, khususnya sekolah-sekolah Ma’arif.
            Pelajar yang notabene merupakan salah satu Agent of Change ,watak kepemimpinan memang harus sudah ada dan sangat dibutuhkan, akan tetapi bagaimana menjadi seorang pemimpin yang adil, bijaksana, sabar, dan lain sebagainya, dalam pembentukan sifat pemimpin yang berkharisma dan berwibawa, skill kepemimpinan dan manajemen organisasi yang baik saja,  belum cukup, masih butuh “ramuan-ramuan” khusus untuk membentuknya. Akhlak yang baik merupakan komponen utama dan paling penting dalam character building, bagaimana bersikap tenang, bijaksana, adil dalam menentukan tiap kebijakan dan keputusan, dan sikap sabar, hanya bisa terbentuk dengan adanya karakter akhlak yang baik.
            Melihat keadaan seperti ini, IPNU dirasa perlu untuk melakukan reinterpretasi terhadap sistem pengakaderan yang selama ini dilakukan, dengan kata lain, tidak hanya melakukan pelatihan-pelatihan tentang kader kepemimpinan, tetapi juga perlu untuk melakukan pengawalan akhlak bagi pelajar, syukur-syukur jika juga ada sistem pengkaderan yang  berupa pelatihan tentang pembentukan akhlak. Tentu saja hal ini tidaklah mudah di lakukan oleh personal di organisasi IPNU saja, apalagi dengan banyaknya pelajar di sekolah-sekolah, mengawasi satu per satu siswa yang ada, tentu saja sangat mustahil dilakukan jika IPNU harus berperan dan berjuang sendiri untuk mengawal masalah akhlak, harus tetap ada pihak-pihak lain yang di harapkan mampu untuk juga ikut andil dan berpartisipasi, dalam hal ini tentunya pihak sekolah sebagai instansi resmi pemerintah, juga peran orang tua sebagai controller utama ketika berada di rumah dan lingkungan sekitar. IPNU mengadakan pelatihan bertema pembentukan akhlak, sekolah juga perlu untuk menambah kuantitas pelajaran yang bertema akhlak, entah dengan menjadikan akhlak sebagai mata pelajaran baru atau memasukkan akhlak di mata pelajaran agama, baru setelah itu pengawasan dan controlling di lakukan oleh orang tua, bagaimanapun juga peran orang tua lebih penting dan mutlak dibutuhkan. Untuk itu dari pihak IPNU sebagai salah satu stake holder dalam pembentukan akhlak, perlu melakukan komunikasi dan konsolidasi terhadap pihak-pihak yang turut andil, dengan mengadakan pertemuan dengan sekolah maupun dengan orang tua, membicarakan dan mendiskusikan sistem maupun pola yang akan di gunakan, mungkin dengan cara inilah semuanya akan sangat mudah untuk dilakukan. Jadi, IPNU sebagai organisasi kader untuk pelajar, lebih dirasakan keberadaannya, baik oleh pelajar sendiri, maupun sekolah dan para orang tua, tidak hanya dalam pembentukan kader kepemimpinan, tetapi juga ikut berperan dalam pembentukan karakter akhlak, sehingga pelajar benar-benar mampu untuk menjadi sosok Agent of Change harapan bangsa sebagai warga negara, dan harapan agama sebagai pemeluk yang baik.


Minggu, 20 Februari 2011

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Apa itu BPSK ...?
BPSK adalah institusi non struktural yang memiliki fungsi sebagai “institusi yang menyelesaikan permasalahan konsumen diluar pengadilan secara murah, cepat dan sederhana”. Badan ini sangat penting dibutuhkan di daerah dan kota di seluruh Indonesia. Anggota-anggotanya terdiri dari perwakilan aparatur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha.
Konsumen yang bermasalah terhadap produk yang dikonsumsi akan dapat memperoleh haknya secara lebih mudah dan efisien melalui peranan BPSK. Selain itu bisa juga menjadi sebuah akses untuk mendapatkan infomasi dan jaminan perlindungan hukum yang sejajar baik untuk konsumen maupun pelaku usaha..
Dalam menangani dan mengatur permasalahan konsumen, BPSK memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan dari para pihak yang bersengketa.. Tagihan, hasil test lab dan bukti-bukti lain oleh konsumen dan pengusaha dengan mengikat penyelesaian akhir.
Tugas-tugas utama BPSK :
  1. Menangani permasalahan konsumen melalui mediasi, konsiliasi atau arbitrasi;
  2. Konsultasi konsumen dalam hal perlindungan konsumen;
  3. Mengontrol penambahan dari bagian-bagian standarisasi;
  4. Memberikan sanksi administrasi terhadap pengusaha yang menyalahi aturan;
BPSK adalah Badan Penyelesaian Konsumen yang dibentuk atas amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, untuk melindungi konsumen.

Siapa Anggota BPSK ...?
BPSK beranggotakan:
- 3 orang dari unsur Pemerintah
- 3 orang dari unsur Konsumen
- 3 orang dai unsur Pelaku Usaha

Bagaimana Cara Pengaduan Dilakukan ...?
Membuat surat permohonan kepada Ketua BPSK, Mengisi formulir pengaduan di kantor BPSK yang berisi :
-Nama, Alamat Pengadu dan Alamat yang diadukan
-Keterangan waktu/tempat terjadinya transaksi
-kronologis kejadian
-bukti-bukti yang lengkap seperti: Faktur, Kwitansi, Bon dll.
-Foto copy KTP pengadu.

Bagaimana Tata Cara Penyelesaian Sengketa di BPSK ...?
BPSK hanya menangani kasus PERDATA saja yang umumnya bersifat ganti rugi
langsung yang dialami oleh konsumen atas kesalahan/kelalaian Pelaku Usaha.
Cara penyelesaian sengketa di BPSK dilakukan dengan cara :
1. KONSILIASI
2. MEDIASI
3. ARBITRASE.

Bagaimana Keputusan BPSK ...?
Keputusan BPSK bersifat FINAL dan MENGIKAT atau dengan kata lain wajib dan
harus dipatuhi oleh Para Pihak yang bersengketa.

Prinsip BPSK Dalam Penyelesaian Sengketa
Prinsip BPSK melakukan penyelesaian sengketa adalah:
- Mengutamakan Musyawarah
- Cepat
- Murah
- Adil

Dimanakah alamat BPSK di Yogyakarta....?
Kota Yogyakarta : Jalan Kusumanegara no.9 Yogyakarta, Telp (0274) 514907
(0274) 540786 (0274) 7470354 (0274) 564774

SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA NU

Oleh : Muhammad HN*

            Nahdlatul ulama’, di singkat NU, artinya kebangkitan ulama’. Sebuah organisasi yang di dirikan oleh para ulama’ pada tanggal 31 Januari 1926 M/ 16 Rojab 1344 H di Surabaya.
            Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia islam kala itu. Salah satu faktor pendorong lahirnya NU adalah karena adanya tantangan yang bernama globalisasi yang terjadi dalam dua hal :
·         Globalisasi Wahabi, pada tahun 1924, Syarief Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni di taklukkan oleh abdul aziz bin saud yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk amaliyah keagamaan kaum sunni, yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan sistem bermadzhab, tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain sebagainya, akan segera di larang.
·         Globalisasi imperialisme fisik konvensional yang di Indonesia di lakukan oleh Belanda, Inggris, dan Jepang, sebagaimana juga terjadi di belahan bumi Afrika, Asia, Amerika Latin, dan negeri-negeri lain yang di jajah bangsa Eropa.
           
            Tentang globalisasi Wahabi, dengan berbagai variannya, Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia Islam. Dengan dalih demi kejayaan islam, ia berencana meneruskan kekhilafahan Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya Daulah Usmaniyyah. Untuk itu dia berencana menggelar Muktamar/kongres Khilafah di kota suci Makkah, sebagai penerus Khilafah yang terputus itu. Gerakan wahabi, seperti terjelma dalam diri Syaikh Ahmad Soorkati, KH Ahmad Dahlan, dan perintis-perintis awal pemurnian ajaran agama dengan segala perbedaan masing-masing, mulai muncul perlombaan dengan keislaman pesantren yang bercorak tasawwuf, bertarekat dan bermazdhab.
            Seluruh negara Islam akan di undang untuk menghadiri muktamar/kongres tersebut, termasuk Indonesia. Awalnya, utusan yang di rekomendasikan adalah HOS Cokroaminoto (SI), KH. Mas Mansur (Muhammadiyyah) dan KH. Wahab Hasbullah (pesantren). Namun, rupanya ada permainan licik di antara kelompok yang mengusung para calon utusan Indonesia. Dengan alasan Kyai Wahab tidak mewakili organisasi resmi, maka namanya di coret dari daftar calon utusan.         Peristiwa itu menyadarkan para ulama’ pengasuh pesantren akan pentingnya sebuah organisasi. Sekaligus menyisakan sakit hati yang mendalam, karena tidak ada lagi yang bisa di titipi sikap keberatan akan sikap Raja Ibnu Saud yang merubah model beragama di Makkah. Para Ulama’ pesantren sangat tidak bisa menerima kebijakan raja  yang anti kebebasan bermadzhab, anti maulid nabi, anti ziaroh makam, dan lain sebagainya. Bahkan santer terdengar berita makam Nabi Muhammad SAW pun berencana akan di gusur.
            Bagi para kyai pesantren, pembaharuan adalah suatu kaharusan. KH. Hasyim Asy’ari juga tidak mempersoalkan dan bisa menerima gagasan kaum modernis untuk menghimbau umat Islam kembali pada ajaran Islam “murni”. Namun Kyai Hasyim tidak bisa menerima pemikiran mereka yang meminta ummat Islam melepaskan  diri dari sistem bermadzhab. Di samping itu, karena ide pembaharuan di lakukan dengan cara melecehkan, merendahkan, dan membodoh-bodohkan, maka para ulama’ pesantren menolaknya. Bagi mereka, pembaharuan tetap di butuhkan, namun tidak dengan meninggalkan khazanah keilmuan yang sudah ada dan masih relevan. Karena latar belakang yang mendesak itulah, akhirnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ didirikan. Oleh karena itu, di putuskanlah bahwa NU akan mengirim Komite Hijaz ke Arab Saudi untuk bernegosiasi agar praktik-praktik keberagamaan bermadzhab tidak di hapus di Haromain. Menurut KH Abdul Wahid Hasyim, Ini adalah salah satu keputusan para ulama’ dalam rapatnya di Surabaya pada 31 Januari 1926, di samping keputusan mencetuskan NU (Aboebakar,1957:471) yang bercorak Ahlussunnah Wal Jama’ah.
            Tentang imperialisme fisik konvensional, hal itu di tandai dengan kehadiran fisik militer dan pemerintah imperialis di bumi Nusantara, yang membuat sengsara dan memiskinkan masyarakat pedesaan dan seluruh masyarakat nusantara pada umumnya. Strategi dan perjuangan kelompok pesantren dalam menghadapi imperialisme fisik konvensional ini tidaklah mudah, sehingga perlu wadah organisasi yang solid dan dari situlah akhirnya para kyai yang melakukan rapat di Surabaya bersepakat untuk mendirikan organisasi yang kemudian di sebut Nahdlatul ‘Ulama. Peran NU dalam menghadapi imperialisme fisik ini telah di tunjukkan dengan mengeluarkan Resolusi Jihad melawan penjajah dalam rapat para ulama di Surabaya pada 22 Oktober 1945.
            Pendiri resminya adalah Hadrotusy Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Sedangkan yang bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak adalah KH. Wahab Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Kyai Wahab adalah salah seorang murid utama Kyai Hasyim yang lincah, enerjik dan banyak akal.

A.    Garis-Garis Besar Pemikiran dan Visi Misi NU
     Organisasi Nahdlatul ‘Ulama didirikan dengan tujuan untuk melestarikan, mengembangkan dn mengamalkan ajaran Islam, dengan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam : Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ (kesepakatan ulama’), dan Al-Qiyas (analogi), dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumbernya di atas, NU mengikuti paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan madzhab :
1.      Dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang di pelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
2.      Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (madzhab) Imam Abu Hanifah an-Nu’man (Imam Hanafi), Imam Malik Bin Annas (Imam Maliki), Imam Muhammad Bin Idris as-Syafi’i (Imam Syafi’i), dan Imam Ahmad Bin Hanbal (Imam Hanbali)
3.      Dalam bidang Tasawwuf mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghozali, serta imam-imam lain
    
     Bahkan dalam anggaran dasar yang pertama tahun 1927 dinyatakan bahwa organisasi NU bertujuan untuk memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu madzhab empat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan kala itu antara lain :
1.      Memperkuat persatuan ulama’ yang masih setia kepada madzhab
2.      Memberikan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam
3.      Penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan madzhab empat
4.      Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasinya
5.      Membantu pembangunan masjid-masjid, langgar/musholla, dan pondok pesantren
6.      Membantu anak-anak yatim-piatu dan fakir-miskin
     Dalam perkembangannya, NU dalam keputusan Muktamar di Donohudan, Boyolali tahun 2004 di sebutkan :
Tujuan Nahdlatul ‘Ulama didirikan adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menurut salah satu madzhab empat untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.
     Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana di atas, maka NU melaksanakan usaha-usaha sebagaimana berikut :
1.      Di bidang Agama, mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menurut salah satu madzhab empat dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah Islamiyah dan amar ma’ruf nahi munkar
2.      Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengejaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk membina umat agar menjadi muslim yang takwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta berguna bagi agama, bangsa dan negara.
3.      Di bidang sosial, mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyar Indonesia
4.      Di bidang ekonomi, mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi unuk pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan kembangnya ekonomi kerakyatan
5.      Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna terwujudnya Khoiro Ummah

B.     Sikap Kemasyarakatan NU
     Dalam pendekatan dakwahnya, NU lebih banyak menggunakan dakwah model walisongo, yaitu menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat dan tidak mengandalkan kekerasan. Budaya yang bersala dari suatu daerah, ketika isalam belum datang – bila tidak bertentangan dengan agama – akan terus di kembangkan dan di lestarikan. Sementara budaya yang jelas bertentangan di tinggalkan. Karena identiknya gaya dakwah walisongo itu, nama walisongo melekat erat dalam jam’iyyah NU, di masukkan dalam bentuk bintang sembilan dalam lambang NU. Sebutan bintang sembilan pun melekat erat pada Nahdlatul ‘Ulama.
     Secara gaaris besar, pendekatan kemasyarakatan NU dapat di kategorikan menjadi tiga bagian :
1.      Tawassuth dan I’tidal, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan dengan Tathorruf (ekstrim)
2.      Tasammuh yaitu sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat
3.      Tawazzun yaitu sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya keserasian hubungan antara sesama ummat manusia dan antara manusia dengan Allah SWT
     Karena prinsip dakwahnya yang model Walisongo itu, NU di kenal sebagai pelopor kelompok Islam moderat. Kehadirannya bisa di terima oleh semua kelompok masyarakat. Bahkan sering berperan sebagai perekat bangsa.


* Kader Muda NU

Referensi :
Aboebakar. 1957 Sedjarah Hidup KH A. Wahid Hasyim. Djakarta : Panitia Buku Peringatan Alm.KH.A.Wahid Hasyim
Nur Kholik Ridwan. 2008. NU dan Neoliberalisme : tantangan dan harapan menjelang satu abad. Yogyakarta : Lkis
H.Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan, S.Sos. 2007. Antologi NU : sejarah, istilah, amaliah uswah. Surabaya : khalista bekerjasama dengan Ta’lif Wan Nasyr (LTN NU) Jawa Timur