Sabtu, 26 Februari 2011

UN 2011 : Rekomendasi Pendidikan Pada Korban Bencana

Bangsa Indonesia setiap tahun seperti selalu mengeluarkan “seri bencana” terbaru. Untuk tahun 2010 lalu saja sudah muncul serial bencana-bencana terbaru. Bencana banjir di Wasior, Papua, kemudian tsunami di Mentawai, Sumatera Barat, dan semburan “wedhus gembel” di Merapi, Kabupaten Sleman DI. Yogyakarta. Dari kejadian bencana yang terjadi di sepanjang tahun 2010 lalu, banyak catatan-catan unik yang layak kita renungkan, dan kita cari solusinya
Saat terjadi bencana banjir di Wasior Papua, banyak orang menyebutnya adalah sebuah bencana tsunami kecil, bagaimana tidak, luapan air yang di sertai lumpur banyak memakan korban dan menghanyutkan perkampungan di sudut teluk tersebut, lebih dari 150 korban meninggal dunia, dan ratusan rumah hancur terseret banjir, tak terkecuali bangunan sekolah yang luluh lantak karenanya. Gempa dan tsunami di Mentawai, Sumatera Barat, dari pihak BMKG yang sudah membuat realease, bahwa setelah terjadi gempa berkekuatan 7,2 skala richter itu, ancaman tsunami sudah lewat. Ternyata di Mentawai benar-benar terjadi tsunami, 100 orang lebih di temukan tewas, dan lebih dari 500 orang lainnya belum di temukan keberadaannya, bangunan-bangunan hancur tersapu oleh derasnya air bah akibat air laut yang meluap, gereja, masjid, banguan rumah warga, dan sekolahpun menjadi korban saksi sejarah keganasannya. Belum lama berselang, solusi dan bala bantuan yang belum terakomodasi dengan baik di dua lokasi bencana tersebut, Gunung merapi juga ikut meramaikan “event” bencana yang terjadi di Indonesia. Keganasan “wedhus gembel” yang di katakan bahwa, hawa-material panas itu mencapai suhu minimal 600 derajat celcius, sebagai perbandingan, titik leleh baja 1000 derajat celcius, dan titik leleh aluminium sekitar 500 derajat celcius, aluminum yang bisa leleh dengan suhu 500 derajat, bagaimana dengan tubuh manusia yang hanya terbungkus kulit dan gumpalan daging yang menutupinya, dapat diimajinasikan bagaimana akibatnya jika awan panas itu menyentuh kulit manusia, kemurkaan merapi seakan-akan meminta tumbal, padahal selama ini Merapi dikenal “ramah”. Tak beda dengan bencana Wasior dan Mentawai, ratusan korban meninggal dan bangunan luluh lantak seakan memberikan isyarat Merapi tak lagi ramah dan bersahabat.
Ketiga bencana besar yang terjadi akhir-akhir ini, seakan menjadikan pelajaran buat negeri ini, dan memberikan bahan renungan kepada kita semua, sebenarnya apa yang “salah” dengan bumi pertiwi. Padahal, pada tahun 2009 lalu, pemerintahan di bawah Pak SBY mengklaim bahwa banyak kesuksesan yang di capai di berbagai sektor, pertanian, perekonomian, bahkan pendidikan. Jika sudah begini, apakah pemerintah masih sanggup berbicara bahwa kesuksesannya masih di rasakan sampai sekarang? , barangkali tidak. Kita kerucutkan saja di sektor pendidikan, dari ketiga bencana yang terjadi, banyak bangunan-bangunan sekolah dan fasilitas belajar-mengajar hancur di buatnya, dampaknya, para siswa yang seharusnya belajar pada jam 07.00 pagi, kini mereka hanya bisa meratapi keadaan sekolahnya hancur, akhirnya proses belajar-mengajarpun terbengkalai, dan para siswa yang seharusnya target belajar sudah sampai Z, mereka hanya bisa menikmati sampai S dulu, mungkin pemerintah bisa berdalih “ini hanya sementara saja, kami akan bertindak secepatnya untuk mengatasi masalah ini”, akan tetapi hal ini tidak bisa di biarkan berlarut-larut, apalagi dengan proses pemulihan yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar, juga membutuhkan biaya yang relatif besar.
Ujian Nasional (UN) yang selama ini menjadi tolak ukur keberhasilan yang menjadi penilaian kompetenasi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah, masih menjadi momok dan di anggap masalah serius yang mesti menjadi fokus. Standar minimum kompetenasi kelulusan yang terus meningkat di tiap periode, juga menjadi perhatian pihak sekolah, dan para guru-guru pengajar mata pelajaran. Melihat kondisi seperti ini, mungkin bagi pemerintah biasa-biasa saja, dan bisa terselesaikan, benar jika semua sekolah memiliki kualitas sumber daya manusia pengajar yang di atas rata-rata dan merata, fasilitas proses belajar-mengajar yang memadai. Akan tetapi pada realisasinya, pemrataan yang tidak seimbang di tiap wilayah dan sekolah di penjuru Nusantara pun menjadi problem tersendiri, ini yang seharusnya menjadi telaah untuk di kaji ulang kebijakan yang telah di buat oleh pemerintah.
Sekarang, Ujian Nasional (UN) sudah di depan mata, kurang sekitar dua bulan lagi, para siswa yang duduk di bangku sekolah dasar sampai menengah sedang bersiap-siap untuk menduduki “kursi panas”, bagaimana dengan mereka para siswa didik yang terbengkalai proses belajar-mengajarnya yang di akibatkan oleh bencana yang melanda? Apakah dengan keputusan pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan harus tetap tutup mata dan telinga melihat realita seperti ini, dengan menetapkan kebijakan dengan memberikan standar kompetensi yang sama? Jawabannya, tidak semestinya pemerintah melakukan hal itu, mengapa demikian, pemrataan kualitas SDM dan sarana-pra sarana saja belum terselesaikan, apa mungkin tega pemerintah membiarkan realita seperti ini.
Tempo hari yang lalu, forum kecil yang diadakan di Cafetarium di pinggiran Kota pelajar Yogyakarta, rekan-rekan dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’ Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman yang juga di hadiri oleh perwakilan rekan IPNU dari Balikpapan membicarakan realita yang terjadi, keputusan pemerintah akan Ujian Nasional di anggap tidak relevan dan berimbang ketika di hadapkan dengan situasi yang beraneka ragam bencana melanda di Negeri ini, salah satu rekan mengatakan “seharusnya pemerintah memberikan kebijakan lain soal ini, karena bagaimanapun juga ini tidaklah adil”. Memang, seharusnya melihat keadaan seperti sekarang, pemerintah harus lebih intens dan serius untuk mengkaji ulang sistem UN dan standar kompetensi yang di tetapkan, dari segi asupan porsi keilmuan yang di terima para siswa korban bancanapun mandeg saat bangunan sekolah dan fasilitas belajar-mengajar rusak, belum lagi masalah buku pelajaran yang di miliki siswa hilang, seragam sekolah tak punya, dan alat tulis menulis menjadi minim karena bencana, tentu saja hal ini menjadi masalah serius yang harus kita cari dan temukan solusinya. Pada akhirnya, forum itu memutuskan untuk merekomendasikan kepada pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan yang isinya di antara lain :
1. membuat kebijakan baru terkait dengan Ujian Nasional dan Standar Kompetensi minimum yang relevan akan realita yang terjadi
2. segera menindak lanjuti dan menyelesaikan perhatian pemerintah terkait dengan bangunan sekolah yang rusak dan sarana prasarana serta fasilitas sekolah yang hilang

Semoga hal ini menginspirasi kita semua untuk turut ikut andil dalam menyelesaikan masalah pemerintah, tidak hanya bisa merekomendasikan kepada pemerintah untuk menyelesaikannya, bagaimanapun juga kita sebagai warga negara juga berkewajiban untuk membantu meringankan beban Bumi Pertiwi. Apa yang bisa kita lakukan ? mari kita lakukan bersama. (Wallahu A’lam)

Selasa, 22 Februari 2011

SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMA’ (IPNU)

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’, di singkat IPNU, adalah salah satu badan otonom yang didirikan oleh NU pada tanggal 20 Jumadil Akhir 1373 H / 24 Februari 1954 di Semarang.
            Sebelum IPNU terbentuk, para pelajar NU sudah mendirikan organisasi di daerah masing-masing, yang antara satu dengan yang lainnya tidak saling berkaitan. Ada Persatuan Siswa NO (Persano) – djaman doeloe – di Surabaya tahun 1939, Iktan Murid NO di Malang tahun 1945, Subbanul Wathon di Madura tahun 1045, dan lain sebagainya. IPNU didirikan ketika terselenggaranya Kongres LP Ma’arif di Semarang, dimana basis gerak IPNU adalah di kalangan pelajar, remaja dan santri. Sejak berdirinya IPNU menjadi salah satu bagian LP Ma’arif dan baru pada tahun 1966, ketika di selenggarakan Kongres IPNU di Surabaya, IPNU resmi melepaskan diri dari LP Ma’arif dan menjadi badan otonom NU. Salah seorang pemrakarsa berdirinya Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’ (IPNU) adalah Prof. Dr. KH M. Tolchah Mansur yang lebih di kenal sebutannya dengan nama “Rekan Tolchah”.
            Sejak berdirinya IPNU merupakan kependekan dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’, dalam perkembangannya, nama IPNU dengan kependekan itu, sejak tahun 1988, melalui kongresnya yang ke-10 di Jombang – di kenal dengan deklarasi Jombang – kepanjangannya di ganti menjadi Ikatan Putera Nahdlatul Ulama’, karena harus menyesuaikan diri dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang keorganisasi masyarakatan (Ormas), yang melarang adanya organisasi pelajar di sekolah, selain Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Namun setelah Orde Baru tumbang, di saat kebebasan berpendapat dan berekspresi bisa di peroleh dengan mudah, singkatan itu di kembalikan lagi seperti saat kelahirannya. Melalui kongresnya yang ke-14 di Surabaya pada tanggal 18-22 Juni 2003, kepanjangan IPNU kembali seperti semula : Ikatan Pelajar Nahdlatul ‘Ulama.

            Makna lambang :
1.      Warna hijau  melambangkan subur, kuning melambangkan hikmah yang tinggi dan putih bermakna kesucian. Warna kuning di antara putih melambangkan hikmah dan cita-cita yang tinggi
2.      Bentuk bulat bermakna kontinyu, Istiqomah, dan terus menerus
3.      Tiga titik di antara di antara kata I.P.N.U , bermakna Islam, Iman, Ihsan
4.      Enam strip pengapit huruf I.P.N.U bermakna rukun iman
5.      Bintang berarti ketinggian cita-cita
6.      Sembilan bintang : lambang keluarga Nahdlatul ‘Ulama.
a.       Satu bintang paling besar di tengah : Nabi Muhammad SAW
b.      Empat bintang di kanan dan kiri : Khulafaur Rosyidin, yakni Abu Bakar As-Shiddiq ra, Umar bin Khottob ra, Utsman Bin Affan ra, dan Ali bin Abi Tholib ra
c.       Empat bintang di bawah : madzhab empat, yaitu Imam Hanbali, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Syafi’i
7.      Dua kitab : Al-Qur’an dan Al-Hadits
8.      Bulu lambang ilmu. Dua bulu angsa bersilang melambangkan sintesa antara ilmu umum dan ilmu agama Islam
9.      Sudut bintang lima bermakna rukun Islam

            Para Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) IPNU dari masa ke masa :
1.      M Tolchah Mansoer                             (1954-1959)
2.      Ismail Makky                                       (1961-1963)
3.      Asnawi Latif                                         (1963-1970)
4.      Tosari Wijaya                                       (1976-1981)
5.      Ahsin Zaidy                                          (1981-1988)
6.      Zainut Tauhid                                       (1988-1996)
7.      Hilmy Muhammadiyyah                        (1996-2000)
8.      Abdullah Azwar Annas                         (2000-2003)
9.      Mujtahidur Ridho                                 (2003-2006)
10.  Idy Muzayyad                                      (2006-2009)
11.  Ahmad Syauki                                     (2009-sekarang)